HUKUM MEMELIHARA KUMIS DAN JENGGOT

 HUKUM MEMELIHARA KUMIS DAN JENGGOT


Persoalan jenggot dan kumis termasuk perkara di luar ibadah mahdhoh. Semua perkara ini dibangun dengan kaidah:


الاصل فى الاشياء الإباحة إلا ما دل دليله على التحريم

"Hukum asal segala sesuatu itu mubah, kecuali dijumpai dalil pelarangannya."


Dengan demikian hukum asal memelihara kumis dan jenggot adalah mubah, yakni boleh selama tidak dijumpai dalil pelarangan memanjangkan amemeliharanya.


Sahabat sekalian, kumis dan jenggot menjadi salah satu kebanggaan kewibawaan seseorang, maka sebagian masyarakat menjadikannya terus menumbuh panjang dan tebal. Kemudian Islam mengaturnya agar kumis dipendekkan dan jenggot diijinkan untuk tetap memanjang sehingga menebal.


Terkait dalil batasan memeliharanya terdapat hadits hadits diantaranya berikut ini:


عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى


Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma dia berkata; Rosululloh shallallohu 'alaihi wasallam berkata: "Cukurlah kumis kalian dan maafkan (dibolehkan) jenggot 

(HR Bukhari)


جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Pendekkan kumis dan longgarkan jenggot, selisilah Majusi. (HR Muslim)


خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

"Selisihilah org muyrik itu, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot" (hr Muslim)


HAL PERTAMA yg perlu diperhatikan hadits perintah memendekkan kumis dan dimaafkan (dibolehkan memanjangkan) jenggot adalah adanya illat, yakni menyelisihi orang musyrik.


Perintah semisal ini dapat dijumpai sebagaimana perintah menyelisihi ahli kitab dalam perkara lain, misalnya soal semir rambut:


إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir (rambut), maka selisilah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Jadi perintah membiarkan jenggot dan memendekkan kumis mengandung illat, yakni menyelisihi orang kafir. Sebagaimana perintah menyelisihi orang kafir dengan menyemir rambut yang telah beruban.


Perintah ini bila diperhatikan ternyata lebih dekat kepada sifat lokalitas, yakni hampir semua orang arab berjenggot panjang sampai kumisnya jg panjang. Ada juga ciri lain adalah membiarkan rambut mereka putih beruban. Hal ini dapat kita maklum ketika itu memang diperlukan identitas pembeda fisik dengan kaum kafir, terlebih secara politis sangat berguna sampai di medan perang.


Inilah illat hukum yang hendaknya difahami oleh kaum muslimin, ketika illat ini tiada maka kembali kepada substansi perintah tersebut. Sebagaimana menyemir uban dengan warna merah / kuning untuk tradisi zaman ini sudah bergeser tidak diperlukan lagi.


HAL KEDUA, substansi pembeda itu terletak kepada sifat fitroh, yakni kebersihan. Bila diperhatikan masyarakat waktu itu menjadikan jenggot dan kumis sebagai kewibawaan maka mereka memanjangkan tanpa batasan sehingga tidak rapi. Sementara sisi lain masyarakat majusi memanjangkan kumis mereka. 


Bila lebih jeli lagi, hadits hadits yang berbicara masalah ini sebenarnya fokus kepada persoalan kumis yang memanjang. Beliau melarang membiarkannya, dengan maksud untuk fitrah/kebersihan dan yang demikian itu tidak sama dengan sebagian masyarakat majusi yg memanjangkan kumisnya.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( الْفِطْرَةُ خَمْسٌ : الْخِتَانُ ، وَالِاسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ ، وَنَتْفُ الْآبَاطِ ) رواه البخاري ومسلم 

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu saya mendengar Nabi sallallohu’alaihi wa sallam berkata, “Fitrah itu ada lima, khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhori dan Muslim)


Perintah mencukur kumis itupun maknanya BUKAN PERINTAH menghabiskan kumis, tetapi perintah merapikan yakni memendekkan.


وعَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ : ( كَانَ شَارِبِي وَفَى – أي زاد - فَقَصَّهُ لِي – يعني النبي صلى الله عليه وسلم - عَلَى سِوَاكٍ ) رواه أبو داود (188) وصححه الألباني في صحيح أبي داود .

Dari AlMughiroh bin Syu’bah radhiallahu’anhu berkata, dahulu kumisku panjang, maka Nabi Sallallohu’alaihi wa sallam memendekkannya untukku seukuran siwak.” (HR. Abu Dawud, Shahih)


Maka adanya sebagian orang yang beranggapan sunnah bahkan wajib mencukur habis kumis adalah kesalahan fatal. Oleh karena itu, Imam Malik pernah ditanya mengenai orang yang mencukur habis kumisnya, maka beliau menjawab:


أرى أن يوجع ضربا وقال لمن يحلق شاربه : هذه بدعة ظهرت في الناس

“Aku beranggapan bahwa orang yang melakukan seperti itu lebih pantas untuk diberi hukuman yaitu dipukul.” Beliau mengatakan lagi terhadap orang yang mencukur habis kumisnya, “Ini adalah perbuatan bid’ah yang nampak di tengah-tengah manusia.” (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Lihat Fathul Bari 10/285-286). 


Maka yang betul adalah tidak terlarang memelihara kumis tebal yang tidak melewati bibir atau menutupinya, sebagaimana praktek para sahabat. Diantaranya tergambar dlm riwayat berikut:


 ١- [عن شرحبيل بن مسلم الخولاني:] رأيت خمسةً من أصحابِ رسولِ اللهِ ﷺ يقمُّون شواربَهم ويعفونَ لحاهم ويصفِّرونها أبا أمامةَ الباهليَّ والحجاجَ بنَ عامرٍ الثماليَّ والمقدامَ بنَ معديْ كربٍ وعبدَ اللهِ بنَ بشيرٍ وعتبةَ بنَ عمرِو السلميَّ كانوا يقمون معَ طرفِ الشفةِ (الهيثمي (٨٠٧ هـ)، مجمع الزوائد ٥/١٧٠ • إسناده جيد)


Dari Sharahbil bin Muslim Al-Khawlani, saya melihat lima sahabat Rosululloh ﷺ meluruskan kumis mereka dan memaafkan jenggot mereka dan menyemirnya dengan kuning, mereka adalah Abu umamah, Al-Hajjaj bin Amir At-tsumaliy, miqdam bin ma'diy karb, abdullah bin basyir, dan Utbah bin Amir Assilmy. Mereka meluruskan kumisnya dengan tepi bibirnya (AlHaitsami, dlm majmu azzawaid, isnadnya jayid)


KESIMPULAN :


Dari hadits hadits diatas dapat difahami bahwa hukum asal memelihara kumis dan jenggot adalah Mubah, kemudian dijumpai larangan memanjangkan kumis. Perintah ini berupa perintah umum memotong bulu/rambut. Kumis termasuk yg diperintah dipendekkan sebagai bentuk fitroh, yakni hendaknya tidak melebihi bibir tetapi diluruskan rata dengan ujung bibir sehingga tidak menutupi bibir dan mulutnya.


Sementara itu memanjangkan jenggot tetap dibolehkan (mendapat dispensasi lebih panjang). Dengan kata lain memanjangkan jenggot dikembalikan ke hukum asal yakni mubah. 


عَنْ ابْنِ عُمَرَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ

Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan dispensasi (dibolehkan) jenggot." (HR. muslim)


Maka dengan demikian memotong jenggot tentu juga lebih boleh. Sebagaimana riwayat berikut:


وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ

"Dan adalah Ibnu Umar bila berhaji atau Umrah dia memegang jenggotnya dan memotong selebihnya." (HR Bukhari)


Sebagaimana jenggot Nabi juga sifatnya tidak panjang menunjukkan RUTIN dipotong.


عَنْ الْبَرَاءِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَجِلًا مَرْبُوعًا عَرِيضَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، كَثَّ اللِّحْيَةِ....


Dari Al-Barraa’, ia berkata : “Rosululloh ﷺ perawakannya sedang (tidak tinggi dan tidak pula pendek), kedua dadanya bidang/lebar, dan jenggotnya tebal….” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5232; shahih].


لا يفهم من هذا أنه كان طويلها ، فإنَّه قد صحَّ أنه كان كثَّ اللحية ؛ أي : كثير شعرها غير طويلة


“Dan tidaklah dipahami dari perkataan ini beliau ﷺmempunyai jenggot panjang. Telah shahih (dalam hadits) bahwasannya beliau ﷺ ‘katstsal-lihyah’, yaitu : lebat rambut (jenggot)-nya namun tidak panjang” [Al-Mufhim, 6/135].


Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullahberkata:


قوله كث اللحية أي فيها كثافة واستدارة وليست طويلة


“Dan perkataannya ‘katstsal-lihyah’, yaitu tebal/padat, membulat, dan tidak panjang” [Muqaddimah Fathil-Baariy, 1/173].


RINGKASAN:

1. Hukum asal memelihara kumis dan jenggot adalah mubah, sebagaimana sebagian orang menjadikannya tanda kewibawaan.

2. Terdapat larangan memanjangkan kumis berlebihan, yakni yang melebihi bibir atau menutupinya. Maka menurut sunnah kumis itu boleh dipelihara sampai menebal dengan batas panjang rata dengan bibirnya.

3. Perintah memendekkan kumis yg melebihi bibir adalah untuk fitrah (kebiasaan kebersihan kerapian) dan yang demikian itu tidak sama dengan kebiasaan sebagian orang kafir ketika itu yang memanjangkan tanpa batas.

4. Tidak terdapat larangan untuk lebih menumbuhkan jenggot, maka hukumnya adalah tetap MUBAH.

5. Bagi yang menumbuhkan jenggot itu hendaklah memelihara dengan rapi, sebagaimana jenggot Nabi yang rapi tidak memanjang tapi menebal.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak demokrasi terhadap Islam

Sholat tarawih habis isya bid'ah ?

𝙎𝙮𝙖𝙛𝙖𝙖𝙩 𝙉𝙖𝙗𝙞 𝙄𝙩𝙪 𝘽𝙞𝙙'𝙖𝙝 𝘼𝙦𝙞𝙙𝙖𝙝