Binatang yang Alloh haramkan
BINATANG YG ALLOH DIAMKAN DALAM KITAB ALLOH ITU BUKAN KARENA ALLOH LUPA MENYEBUTNYA, ITU KEMURAHAN DARI ALLOH, JANGAN KALIAN PERSULIT DENGAN MENGHARAMKANNYA
عَنْ اَبِى الدَّرْدَاءِ رض رَفَعَ اْلحَدِيْثَ قَالَ: مَا اَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَ مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَافِيَةٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ اْلعَافِيَةَ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ نَسِيًّا، ثُمَّ تَلاَ هذِهِ اْلايَةَ: وَ مَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا. الحاكم
Apa saja yang Alloh halalkan dalam kitab-Nya, maka hal itu adalah halal. Dan apa saja yang Ia haramkan, maka hal itu adalah haram. Sedang apa saja yang DIA DIAMKAN, maka hal itu dibolehkan, oleh karena itu terimalah kema’afan dari Alloh itu. Sebab sesungguhnya Alloh TIDAK LUPA SEDIKITPUN. Kemudian Rosululloh membaca ayat ini : wa maa kaana robbuka nasiyyaa (Dan Robb mu tidak lupa) – QS. Maryam : 64.
[HR. Hakim juz 2, hal. 406, no. 3419]
Oleh karena itu semua binatang yg disebut haram dalam kitabulloh adalah haram, sedang yang tdk disebut kitabulloh (termasuk binatang buas bertaring dan keledai) berarti mubah.
Adapun bila ada hadits Nabi melarang beberapa jenis binatang diluar kitab Alloh, maka ada beberapa kepastian :
1. Hadits tersebut dipastikan lemah atau palsu yg disandarkan kepada Nabi.
2. Bila larangan Nabi tersebut benar terjadi maka MAKNA larangannya tidaklah haram atau terlarang selamanya, tetapi terikat sebab kondisional saat peristiwa tersebut saja.
Selain Ibnu Abbas dan Aisyah yg tegas mengembalikan kpd Kitabulloh, shahabat Ibnu Umar jg mengembalikan urusan halal haram binatang ini kepada Al-Quran:
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ لُحُومِ السِّبَاعِ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهَا. فَقِيلَ لَهُ: حَدِيثُ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ: أَكْلُ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ. فَقَالَ: لَا نَدَعُ كِتَابَ اللَّهِ رَبِّنَا لِحَدِيثِ أعرابي يبول على ساقيه.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia ditanya tentang daging binatang buas, maka dia menjawab: Tidak apa-apa. Lalu disampaikan kepadanya hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani ("Diharamkan memakan binatang buas yang bertaring"). Beliau menjawab: Kami tidak akan maninggalkan Kitabulloh Robb kami, untuk sebuah hadits dari seorang A'rab yang buang air di kakinya.
(Jami liahkam alquran juz 7- 117)
فكان ابن عمر يقول: لا آخذ بقول أعرابي يبول على ساقيه، وأترك كتاب الله، والآية التي جعلته يقول: إن لحوم السباع حلال والتي عرض عليها الحديث هي قول الله تعالى: {قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ} [الأنعام:١٤٥]، فهذه الأربعة فقط هي التي حرمها الله جل وعلا، والاستثناء الموجود في الآية يحصر المحرم في الأربعة التي ذكرت
Ibnu Umar pernah berkata: Aku tidak akan menerima perkataan orang a'rab yang buang air di kakinya dengan meninggalkan Kitab Alloh. Ayat itulah yang membuat Ibnu Umar berkata: Daging binatang buas adalah halal. Yg membuatnya berpaling dr hadits tersebut adalah kalam Alloh: Katakanlah: “Aku tidak menemukan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi siapa pun yang ingin memakannya, kecuali jika ia sudah bangkai atau darah yg mengalir, atau daging babi karena itu rijsun, atau kefasikan yakni sembelihan untuk selain Alloh [Al-An'am: 145]. Hanya empat hal ini yang diharamkan oleh Alloh, istitsna' yg terdapat pada ayat tersebut membatasi yang haram hanya pada empat hal tersebut saja.
(Syarah Kitab Naqdu Mutun Assunnah hal.10)
3. Atau, peristiwa larangan dari Nabi tersebut selain terikat illat atau sebab khusus saat itu, juga terjadi sebelum turunnya wahyu QS. Al-An'am: 145
Ibnu Abbas mengatakan ayat al-anam 145 termasuk diantara ayat ayat yg terakhir turun:
وَقَدْ أَشَارَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ إِلَى هَذَا فِي قَبَسِهِ خِلَافَ مَا ذَكَرَ فِي أَحْكَامِهِ قَالَ: رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مِنْ آخِرِ مَا نَزَلَ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini (al-anam 145) termasuk ayat yg terakhir turun (al-Qadhi abu Bakar Bin Arabi dlm Al-Jami' liahkam AlQuran juz 7: 118)
وَزَعَمَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مَدَنِيَّةٌ وَهِيَ مَكِّيَّةٌ فِي قَوْلِ الْأَكْثَرِينَ، نَزَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ نَزَلَ عَلَيْهِ "الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ" وَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا نَاسِخٌ فَهِيَ مُحْكَمَةٌ، فَلَا مُحَرَّمَ إِلَّا مَا فِيهَا، وَإِلَيْهِ أَمِيلُ.
Ibnu al-Arabi menyatakan bahwa ayat ini adalah ayat madaniyah, sedang sebagian besar ayat lainnya makkiyah, dan ayat ini diturunkan kepada Nabi pada hari turunnya ayat "al-yauma akmaltu lakum dinakum (pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu)“ Dan tidak ada turun setelahnya nasikhnya, maka ayat itu bersifat muhkamah. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang haram kecuali apa yang ada di dalam ayat ini. (Al-Jami' liahkam AlQuran juz 7: 116)
وَقَدْ ذَكَرَ أَبُو عُمَرَ بْنُ عَبْدِ الْبَرِّ الْإِجْمَاعَ فِي أَنَّ سُورَةَ" الْأَنْعَامِ" مَكِّيَّةٌ إِلَّا قَوْلَهُ تَعَالَى:" قُلْ تَعالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ" الثلاث الآيات
Abu Umar bin Abdil-Barr menyebutkan ijma' bahwa Surah Al-An’am adalah makkiyah, kecuali kalam Alloh: “Katakanlah, mari bacalah apa yang diharamkan Robbmu kepadamu" ketiga ayat tersebut
(Al-Jami' liahkam Al-Quran juz 7: 118)
Sehingga apa yg tercantum dalam Al-Anam 145 menjadi final hukum keharaman bagi ummat Islam sampai hari kiamat. Oleh karena itu perincian empat perkara haram dlm surah al-anam 145 bisa kita dapati di surah al maidah ayat 3 yg berlanjut dengan penegasan dari Alloh tentang sempurnanya Din/agama ini.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗاَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) Din/agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. PADA HARI INI TELAH AKU SEMPURNAKAN DIN/AGAMAMU UNTUKMU, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai Din/agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Alloh Paling Sangat Pengampun, Paling Sangat Penyayang.
(Qs.Al-Ma'idah (5): 3)
DEMIKIANLAH bila kita mengikuti manhaj Rosululloh sebagaimana para shahabat seprti Ibnu Abbas, Aisyah, dan Ibnu Umar dalam menentukan persoalan halal-haram, maka Din/agama Islam akan kembali ke fitrahnya yakni mudah dan jelas, bukan menjadi rumit dan abu-abu yang bisa membingungkan ummat.
SorotanKabar Pengikut Sorotan
Komentar
Posting Komentar